Informasi penting
Study abroad: Before you leave

Perjuangan Kuliah ke Selandia Baru (New Zealand) dengan Beasiswa NZAS

Baca langkah-langkah sahabat Hotcourses Indonesia, Tri, dari Papua untuk mendapatkan beasiswa ke Selandia Baru!

54.5K
pengalaman kuliah di new zealand dengan beasiswa nzas

 

“Kalaupun saya harus gagal dan pulang ke Papua, saya rela dan siap menanggung malu. Saya siap untuk mengikuti lagi test IELTS kelima dan pada akhirnya saya memperoleh overall 6,5 dengan nilai listening tertinggi yakni 7,5. Bahagia sekali dan lega rasanya saya bisa mencapai score yang diminta pihak universitas”

 

Tak pernah terlintas sama sekali dalam pikiran saya untuk melanjutkan kuliah keluar negeri. Jangankan keluar negeri, kuliah di dalam negeri pun sangat jauh dari benak saya ketika lulus SMA. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan orang tua saya dalam memberikan dukungan finansial guna membiayai semua kebutuhan perkuliahan.

 

Akhirnya saya mengganggur selama 2 tahun dan melamar bekerja pada sebuah lembaga gereja Katolik yang bergerak dibidang ‘Peace and Justice’ di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Setelah bekerja selama kurang lebih 6 bulan, barulah saya mendaftar pada sebuah perguruan tinggi swasta (saat ini sudah menjadi Universitas negeri) dan mengambil jurusan Teknik Informatika. Saya menyelesaikan study saya di Merauke pada tahun 2011 dan mendapat gelar Sarjana Komputer.

 

Sejak kapan keinginan kuliah ke luar negeri itu muncul?

Sejak saya SMA, saya kurang tertarik dengan pelajaran Bahasa Inggris, akibatnya tidak ada satupun kata atau tenses yang nyantol dalam otak saya setelah tamat SMA. Tibalah suatu saat penyesalan itu tiba ketika saya tidak mampu menjalin komunikasi dengan tamu-tamu lembaga saya dari berbagai negara seperti Australia, Selandia Baru dan Belanda. Nah sejak saat itulah, ada keinginan untuk belajar Bahasa Inggris lagi, tapi hanya sekedar general English.

 

Tahun 2007, saya diberi kesempatan oleh lembaga saya untuk mengikuti kursus dasar Bahasa Inggris di UNITEC Auckland, Selandia Baru. Saat itu saya berusia 22 tahun dan hal itu merupakan pengalaman saya yang pertama merantau ke negeri orang. Setelah pulang kursus dari Selandia Baru, tiba-tiba ada kerinduan untuk melanjutkan kuliah S2 keluar negeri. Namun, saat itu saya masih semester 4 sehingga keinginan untuk melanjutkan S2 itu saya pendam dalam hati saja.  

 

Setelah saya diwisuda tahun 2011, saya langsung melamar beasiswa provinsi Papua program Kursus Bahasa Inggris untuk program IELTS Preparation yang bekerjasama dengan Indonesia Australia Language Foundation (IALF) di Denpasar, Bali. Saya mendapatkan informasi beasiswa kursus inipun dari salah satu group di Facebook (Papua Scholarship Club). Setelah mendaftar, saya harus merogoh tabungan saya untuk berangkat ke Jayapura (Ibu Kota Provinsi Papua) dan mengikuti seleksi selama 2 hari. Berbekal kemampuan Bahasa Inggris seadanya, akhirnya saya diterima dan siap diberangkatkan ke Bali untuk mengikuti IELTS preparation program selama 6 bulan.

 

NZAS

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasil test IELTS pertama saya setelah kursus di Bali adalah 5,5 dan kerinduan untuk melamar beasiswa keluar negeripun sangat menggebu-gebu saat itu. Dalam hati, saya tidak mau melamar beasiswa ke Selandia Baru karena saya sudah pernah punya pengalaman pergi kesana. Saatnya untuk menjelajah dunia baru yakni Australia. Saat menulis proposal study, saya tidak tidur dan lupa makan karena harus fokus dan mengejar deadline. Saya banyak bertanya kepada teman-teman atau senior-senior saya terkait cara atau teknik menulis proposal, tetapi banyak dari mereka yang memilih diam dan tidak mau berbagi informasi. Ya sudahlah….saya tulis apa adanya saja.

 

Setelah masa pengumuman tiba, saya harus menerima kenyataan pahit bahwa proposal saya ditolak oleh pihak Australia Awards Scholarship (AAS). Yah..mungkin belum rejeki, mungkin Tuhan punya rencana lain untuk saya. Saya sedih, menangis dan bertanya dalam hati saya, kenapa saya bisa gagal? Apa yang salah dan kurang dari proposal saya?

 

Pada saat yang bersamaan, saya mencoba mendaftar program Short Course StuNed dan saya diterima untuk mengikuti kursus Participatory, Planning, Monitoring and Evaluation for Impact di Wageningen, The Netherlands selama 3 minggu. Akhirnya kesedihan ditolak oleh AAS bisa sedikit terobati dengan mengikuti kursus di Belanda pada 2013.

 

Sepulang dari Belanda, New Zealand ASEAN Scholarship (NZAS) masih membuka pendaftaran hingga tanggal 21 April 2013. Saat itu, salah satu teman saya memberikan saran bahwa saya tidak boleh pilih-pilih negara untuk tujuan study. Akhirnya saya putuskan untuk mendaftar NZAS dan mendaftar kedua kalinya lagi untuk AAS. Saya tidak pernah menyerah dalam hal ini, saya menulis lagi proposal untuk beasiswa AAS dan mencoba untuk merubah strategi penulisan proposal.

 

Saya selalu setia ikut pertemuan-pertemuan atau sosialisasi beasiswa AAS yang diselenggarakan oleh Tim dari Jakarta. Sama halnya dengan beasiswa NZAS (New Zealand ASEAN Scholarships), saya banyak melakukan konsultasi dengan beberapa teman-teman dari Papua yang sudah mendapat beasiswa NZAS terlebih dahulu. Akhirnya, saya kirim 2 proposal secara bersamaan, satu untuk AAS dan satunya lagi untuk NZAS.

 

Masa penantian pengumuman seleksi awal saya sertai dengan doa, puasa dan nasar. Saat pengumuman tiba, saya tidak menerima email dari pihak penyelenggara program AAS sedangkan teman-teman lain sudah bersorak gembira melalui media sosial bahwa mereka akan bersiap-siap untuk ikut test IELST dan Interview di Jayapura. Oh…jantung saya berdetak, untuk kedua kalinya saya ditolak. Jengkel dan sedih bercampur jadi satu, namun saat itu hati kecil saya berbisik bahwa saya harus tenang karena masih ada 1 kesempatan yakni NZAS. Saat itu saya yakin pasti bisa lulus NZAS karena saya sudah melalui tahapan interview melalui telepon.

 

Empat hari kemudian, tepatnya tanggal 13 November 2013 saya menerima email dari PT Austraining Nusantara (Kontraktor NZaid) dan saya dinyatakan lolos seleksi dan menjadi salah satu penerima beasiswa NZAS dari Provinsi Papua. Catatan penting yang saya peroleh saat itu adalah saya harus mengikuti program English Language Training (ELT)  selama 9 bulan di IALF Surabaya, Jawa Timur untuk memenuhi IELTS requirement university yakni 6,5 with no band less than 6,0. Tidak apa-apa yang penting kursusnya gratis, itu pikiran saya saat itu………

 

Tri bersama teman-teman di Selandia Baru

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perjuangan belum berakhir…

January 2014 saya menginjakkan kaki di kota Surabaya demi mengejar IELTS requirement dari The University of Waikato. Satu fokus saya saat itu adalah saya harus bisa memperoleh overall IELTS 6,5. Hampir sebagian besar waktu saya habis untuk membaca buku dan melakukan simulasi IELTS di Student Centre (SC) IALF Surabaya. Saya biasa datang jam 9 pagi dan pulang selalu jam 9 malam, bahkan hari sabtupun saya gunakan untuk melakukan IELTS simulasi. Saat itu, saya mendapat julukan sebagai ratu SC karena selalu menjadi pengunjung pertama sedangkan pulangnya larut sekali dan paling terakhir.

 

Tiba saatnya test IELTS pertama pada 28 Juni, dan saat itu hasil saya masih 6,0. Stress sekali memikirkan hasil test pertama, karena dari 18 peserta ELT yang ikut test IELTS, hanya sisa 5 orang yang masih belum berhasil. Kami berlima putuskan untuk ikut lagi test kedua dan tentunya kami bayar dengan menggunakan uang pribadi. Hasil test keduapun masih 6,0 dan saya semakin under pressure karena 3 teman lainnya sudah berhasil. Saya coba lagi test ketiga masih gagal lagi.

 

Saya semakin stress karena malu juga dengan semua staff IALF Surabaya yang sering mengawasi saya saat mengikuti test. Saya mencoba menghibur diri sendiri dan memberanikan diri tuk mendaftar lagi untuk test keempat. Eh…hasilnya masih juga sama 6,0. Saya semakin stress tingkat tinggi, saya sudah kehilangan akal dan hanya bisa berpasrah sama Tuhan. Kalaupun saya harus gagal dan pulang ke Papua, saya rela dan siap menanggung malu. Itu pikiran saya saat itu. Saya siap untuk mengikuti lagi test kelima dan pada akhirnya saya memperoleh overall 6,5 dengan nilai listening tertinggi yakni 7,5.

 

Bahagia sekali dan lega rasanya saya bisa mencapai score yang diminta pihak universitas meskipun saya harus mengeluarkan semua uang tabungan saya untuk membayar 3x biaya test IELTS (pihak beasiswa memberi 2x kesempatan test IELTS). Akhirnya, saya bisa melangkah ketahap selanjutnya yakni medical checkup, pembuatan student visa dan menjalin komunikasi dengan pihak university terkait rencana keberangkatan dan akomodasi selama saya berada di New Zealand. Akhirnya…saya bisa menjadi salah satu mahasiswi di The University of Waikato, Hamilton, Selandia Baru.

 

Perjuangan sesungguhnya ada disini, di The University of Waikato.

 

Penulis merupakan peraih beasiswa NZAS di tahun 2014, Tri, yang berasal dari Papua.

 

 

Wajib dibaca