Informasi penting
Study abroad: Before you leave

Lebaran di Negeri Paman Sam (Amerika Serikat)

Simak cerita Siti, alumni University of Arizona, AS, merayakan Hari Raya Lebaran seru di Amerika Serikat saat kuliah disana.

lebaran di amerika serikat

 

"Perayaan Hari Raya Idul Fitri di negeri orang memang tidak sekhidmad dan tidak semeriah di negeri sendiri, namun bukan berarti tanpa kesan"

 

Merayakan Hari Raya Idul Fitri di negeri orang tentu berbeda dengan merayakannya di negeri sendiri. Entah dari suasananya, orang-orangnya, kegiatannya, termasuk makanannya. Yang paling terasa mungkin suasananya. Di Indonesia, di mana Muslim menjadi mayoritas, perayaan Hari Raya Idul Fitri tentulah sangat semarak.

 

Di hari akhir Ramadhan, kita sudah bisa mendengar suara takbir berkumandang bersahutan dari masjid satu ke masjid lain sepanjang malam hingga pagi, bahkan di beberapa tempat mungkin sampai ada “pawai” takbir keliling. Tidak demikian halnya dengan Idul Fitri di negeri Paman Sam, dimana Muslim hanya sebuah minoritas.

 

Sepi, rasanya seperti hari-hari biasa. Tidak ada takbir menggema, kecuali kalau kita mau pergi dan memasuki masjid. Tapi Alhamdulillah, saya masih bisa mendengarkannya lewat Youtube, betul-betul membuat saya rindu berlebaran di kampung halaman.

 

 

Anti-Islam Rally Sebelum Sholat Eid

Di Tucson, Arizona sendiri, di mana saya tinggal, Sholat Eid tahun ini dilaksanakan di Luke Event Center, semacam hall hotel yang biasa disewa untuk acara tertentu. Biasanya sholat Eid diselenggarakan di Reid Park, taman kota di sini. Penyelenggaraan Sholat Ied di Luke Event Center mungkin disebabkan oleh faktor keamanan.

 

Penyelenggaraan di Islamic Center of Tucson, sebuah masjid dan pusat kajian agama Islam di dekat kampus saya, tampak tidak memungkinkan. Selain karena tempatnya tidak begitu luas, jauh hari sebelumnya ada isu tentang rencana Anti-Islam Rally yang akan dilaksanakan Sabtu, 18 Juli, sementara Idul Fitri jatuh pada tanggal 17 Juli.

 

Meskipun warga Amerika disini juga sudah siap melawan acara tersebut dengan mengadakan rally tandingan semacam “Stand against Hate” untuk membela kaum Muslim di sini, dan meskipun pada akhirnya Anti-Islam Rally tersebut akhirnya Alhamdulillah dibatalkan, mungkin tetap dirasa tidak aman. Apalagi dengan adanya kasus penembakan di Chattanooga, North Carolina, yang pelakunya disinyalir seorang Muslim, mungkin dikhawatirkan memicu “kemarahan publik” yang bisa saja dilampiaskan pada kami Muslim lainnya.

 

 

Siapa yang Sholat Eid?

Saya sendiri berangkat ke lokasi bersama keluarga Mas Ary, penerima beasiswa Fulbright dari Indonesia juga. Sesampainya di lokasi, masih belum juga terasa suasana lebarannya sekalipun terlihat beberapa Muslim bergegas memasuki gedung dan sebagian lain maish menemani buah hatinya bermain di arena bermain yang disiapkan panitia. Tetap saja, masih tidak ada takbir yang terdengar dikumandangkan. Baru setelah memasuki gedung, saya akhirnya bisa mendengarkannya.

 

Sebagai seorang Muslim, tentu saya merasa “trenyuh” mendengar nama Tuhan diagungkan. Di sana saya bisa melihat banyak orang dari banyak suku bangsa berkumpul untuk melaksanakan Sholat Idul Fitri. Kulit hitam, kulit putih, orang Arab, orang India, dan seterusnya. Beberapa kursi juga disiapkan untuk para orangtua yang tidak kuat berdiri saat sholat. Sajadah digelar, shaf diluruskan.

 

Namun yang berbeda, jika di Indonesia hampir semua jamaah wanita memakai mukenah dan mayoritas mukenahnya berwarna putih, di sini saya tidak menemui hal semacam itu. Orang-orang sholat dengan pakaian yang dipakainya dari rumah. Tertutup dan penuh warna. Memang tidak semuanya berjilbab lebar.

 

Tidak semuanya memakai pakaian longgar. Sebagian bahkan sholat dengan menggendong bayinya yang mulai gusar. Tapi kami saling menghormati, karena kami sadar hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Dan terlepas dari kekhawatiran yang saya sebutkan sebelumnya, Alhamdulillah Sholat Idul Firti berjalan lancar.

 

 

Suasana “Kacau” pasca sholat Eid

Yang berbeda lagi dari lebaran di sini adalah, biasanya kalau di Indonesia orang akan khidmat mendengarkan khotbah setelah sholat. Setidaknya kalau ada yang pulang pun, satu per satu. Di sini, sangat “kacau”. Setelah selesai sholat Eid, banyak orang berhamburan dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

 

Ada yang berfoto. Ada yang membagikan permen. Ada yang membantu panitia menyiapkan jamuan lebaran. Saya sendiri akhirnya ikut “sibuk” juga karena saya tidak mengerti ketika khotbahnya disampaikan dalam Bahasa Arab, dan saat kemudian disampaikan dalam Bahasa Inggris, suasana sudah terlalu ramai dan tidak kondusif bagi saya untuk mendengarkan.

 

Saya sendiri tidak memanfaatkan jamuan yang disajikan panitia karena setelah sholat ada undangan Open House di rumah salah satu warga Indonesia di Tucson, Arizona. Tentu saya tidak ingin memenuhi perut saya dengan makanan yang kurang saya sukai sementara sebentar lagi saya akan menikmati menu makanan Indonesia. 

 

 

Open House Bu Fatimah

Open House diadakan di rumah Bu Fatimah, warga Indonesia di sini. Hampir semua jamuan beliau yang menyiapkan, ditambah dengan beberapa jamuan lain yang yang dibawa oleh beberapa warga Indonesia lain. Berbagai menu makanan Indonesia tersedia: lontong sayur, ketupat (meskipun hanya ketupat plastik dan tidak terbungkus janur seperti di Indonesia), sayur lodeh, sate, opor, sambel goreng ati, pecel, ketan hitam, salad kentang, kue lebaran, dll.

 

Di saat di dalam negeri sedang hangat berita yang penuh provokasi dan berusaha memecah belah umat, kerukunan antar umat beragama justru sangat terasa di sini. Yang hadir dalam acara ini bukan hanya Muslim saja. Bahkan kami juga mengundang saudara-saudara dari Malaysia. Tidak ada perasaan benci. Semua bergembira. Karena memang kami tidak bisa berkumpul setiap saat karena kesibukan masing-masing.

 

Jadi momen-momen seperti ini selalu ditunggu. Apalagi kebetulan Bu Fatimah punya DVD karaoke yang kami pakai untuk “gila-gilaan” melepas rindu dengan lagu-lagu dari kampung halaman baik pop maupun dangdut. Mungkin sesi karaoke ini haya ada di Tucson, Arizona. Saya tidak yakin di negara bagian lain ada. Haha... dan yang paling asyik bagi mahasiswa rantau seperti saya adalah Bu Fatimah menyediakan plastik ziplock dan food container agar kami bisa menyimpan (sisa) makanan yang disajikan untuk dibawa pulang. Lumayan, bisa ditaruh di kulkas, dan tinggal dihangatkan setiap mau makan.

 

Berkumpul dengan keluarga Indonesia
Berkaraoke bersama

 

Membakar Sate

 

Hari Kemenangan

Pulang dari tempat Bu Fatimah, suasana lebaran sudah tidak begitu terasa. Tidak ada acara berkunjung ke rumah tetangga atau saudara seperti yang biasa dilakukan di tanah air. Tidak ada acara “main” ke tempat wisata terdekat bersama keluarga. Beberapa warga Indonesia yang hadir di rumah Bu Fatimah justru harus pergi lebih dahulu karena harus kembali ke tempat kerja mereka.

 

Maklum, liburan Idul Fitri di Amerika Serikat baru diberlakukan di negara bagian New York saja, tidak di negara bagian lain termasuk Arizona. Jadi, mereka harus ijin setengah hari untuk Sholat Ied dan bersilaturrahmi dengan warga Indonesia lainnya karena Hari Raya Idul Fitri tahun ini tidak jatuh pada akhir pekan atau hari libur kerja.

 

Perayaan Hari Raya Idul Fitri di negeri orang memang tidak sekhidmad dan tidak semeriah di negeri sendiri, namun bukan berarti tanpa kesan. Merayakan Idul Fitri sebagai minoritas dan dengan segala keterbatasan yang ada justru meninggalkan kesan yang dalam. Suasana kekeluargaan yang terasa sebagai sesama perantau, kebahagiaan yang kami ciptakan bersama saat jauh dari kampung halaman… Semua itu tentu meningkatkan rasa syukur pada Tuhan karena, sekalipun berada di kampung orang, kami masih bisa merasakan dan merayakan Hari Kemenangan.

 

 

Pengalaman ini ditulis oleh Siti Juwariyah

Siti Juwariyah adalah mahasiswa program S2 Fulbright jurusan English as A Second Language di University of Arizona. Sebelum mendapatkan beasiswa, Siti adalah dosen bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Malang. Salah satu moto hidup favorit Siti adalah "We might have been born to lose, but we are never born to give up. We never were." Moto ini diambil dari film Thailand yang berjudul "Suckseed". Ikuti petualangan seru Siti Juwariyah di  www.juwaisme.wordpress.com.

Wajib dibaca