Pengalaman secara keseluruhan
Proses penerimaan
Pembiayaan dan beasiswa
Pengalaman studi
Pengalaman hidup
Prospek pekerjaan
100% pelajar internasional merekomendasikan CQUniversity Australia
Fadlan
Postgraduate
Tahun kelulusan: 2020
Pengalaman secara keseluruhan
Less diversity, best facilities
Saya adalah mahasiswa CQU kampus Melbourne program postgraduate (S2) intake Term 2 2018 (Juni 2018). Sudah hampir 2 tahun (sampai dengan April 2020) saya menjadi satu-satunya mahasiswa dari Indonesia (dilihat dari seluruh program di kampus Melbourne). Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai diversity (keragaman), CQU kampus Melbourne belum berhasil mencapai katagori ini. Dikarenakan, dalam proses penerimaannya, mahasiswa didominasi oleh WN India dan sub-continentnya (Pakistan, Srilanka, Nepal, Bangladesh). Saya juga salah satu awardee ISS (International Student Scholarship). Beasiswa ini sangat membantu dalam meng-cover biaya kuliah. Hanya saja, belum mendukung biaya hidup. Jadi, saya masih harus bekerja paruh waktu yang tak jarang mengganggu konsentrasi belajar. Salah satu hal yang bisa dibanggakan adalah CQU memiliki sistem online (Moodle) dengan interface yang sangat ramah, memudahkan mahasiswa untuk mengakses seluruh fasilitas belajar, materi kuliah, rekaman kuliah, sistem pembayaran, sistem pendaftaran mata-kuliah, dll. Materi pembelajaran disusun dengan sangat rapih dan aktual (terbarui setiap tahunnya untuk menyesuaikan kebutuhan perkembangan zaman). Tenaga pengajarnya berkualifikasi internasional (hampir semua yang pernah mengajar saya, juga merupakan pengajar di beberapa Universitas terbaik di negara lain) Namun, harapan berada di negara berbahasa inggris untuk sekaligus bisa melatih kecakapan bahasa inggris tidak terpenuhi di lingkungan kampus. Karena, bisa dikatakan tidak adanya pelajar lokal. Sedangkan, komunikasi aktif dengan pengajar dengan bahasa inggris sebagai bahasa pertamanya sangat terbatas di kelas (on-campus / online). Komunikasi non-kelas dipenuhi oleh mahasiswa dari negara dominan dengan bahasa non-inggris. Hal inipun disebabkan kurangnya “engagement” dari pelajar-pelajar tersebut untuk memprioritaskan komunikasi dalam bahasa inggris meskipun sesama mereka. Saya harap, CQU (Melbourn khususnya), dapat lebih mempertimbangkan persentase komposisi etnikal dalam penerimaan mahasiswanya untuk secara penuh mewujudkan nilai “diversity” dan menciptakan atmosfir bahasa inggris. Overall, “merantau” dan belajar di Melbourne, Australia telah membuka mata saya kepada dunia yang lebih luas!
Saya adalah mahasiswa CQU kampus Melbourne program postgraduate (S2) intake Term 2 2018 (Juni 2018). Sudah hampir 2 tahun (sampai dengan April 2020) saya menjadi satu-satunya mahasiswa dari Indonesia (dilihat dari seluruh program di kampus Melbourne). Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai diversity (keragaman), CQU kampus Melbourne belum berhasil mencapai katagori ini. Dikarenakan, dalam proses penerimaannya, mahasiswa didominasi oleh WN India dan sub-continentnya (Pakistan, Srilanka, Nepal, Bangladesh). Saya juga salah satu awardee ISS (International Student Scholarship). Beasiswa ini sangat membantu dalam meng-cover biaya kuliah. Hanya saja, belum mendukung biaya hidup. Jadi, saya masih harus bekerja paruh waktu yang tak jarang mengganggu konsentrasi belajar. Salah satu hal yang bisa dibanggakan adalah CQU memiliki sistem online (Moodle) dengan interface yang sangat ramah, memudahkan mahasiswa untuk mengakses seluruh fasilitas belajar, materi kuliah, rekaman kuliah, sistem pembayaran, sistem pendaftaran mata-kuliah, dll. Materi pembelajaran disusun dengan sangat rapih dan aktual (terbarui setiap tahunnya untuk menyesuaikan kebutuhan perkembangan zaman). Tenaga pengajarnya berkualifikasi internasional (hampir semua yang pernah mengajar saya, juga merupakan pengajar di beberapa Universitas terbaik di negara lain) Namun, harapan berada di negara berbahasa inggris untuk sekaligus bisa melatih kecakapan bahasa inggris tidak terpenuhi di lingkungan kampus. Karena, bisa dikatakan tidak adanya pelajar lokal. Sedangkan, komunikasi aktif dengan pengajar dengan bahasa inggris sebagai bahasa pertamanya sangat terbatas di kelas (on-campus / online). Komunikasi non-kelas dipenuhi oleh mahasiswa dari negara dominan dengan bahasa non-inggris. Hal inipun disebabkan kurangnya “engagement” dari pelajar-pelajar tersebut untuk memprioritaskan komunikasi dalam bahasa inggris meskipun sesama mereka. Saya harap, CQU (Melbourn khususnya), dapat lebih mempertimbangkan persentase komposisi etnikal dalam penerimaan mahasiswanya untuk secara penuh mewujudkan nilai “diversity” dan menciptakan atmosfir bahasa inggris. Overall, “merantau” dan belajar di Melbourne, Australia telah membuka mata saya kepada dunia yang lebih luas!