
Kuliah di luar negeri merupakan cita-cita sebagian besar pelajar Indonesia. Namun banyak pelajar muslim masih bertanya-tanya mengenai cara melangsungkan aktivitas ibadah mereka di negara asing yang mayoritas penduduknya menganut agama lain. Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, kontributor Indonesia Mengglobal, Khairunnisa Usman (Nisa), akan membagikan pengalamannya berkuliah di Amerika Serikat sebagai minoritas muslim.
Tidak Ada Hambatan Beribadah
Tidak seperti kekhawatiran keluarga saya di Indonesia, saya tidak mengalami hambatan untuk melaksanakan ibadah selama saya di AS. Ini termasuk berwudhu, shalat lima waktu, membaca Al-Quran, dan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Saya bersyukur sebagian besar masyarakat Amerika Serikat yang saya temui sangat toleran. Saya rasa ini karena budaya mereka yang sangat menghargai kebebasan, termasuk kebebasan beragama.
Saya menjalani bulan Ramadhan dan merayakan Idul Fitri dalam tiga minggu pertama saya menjejakkan kaki di Amerika Serikat. Pada waktu itu, saya ditampung oleh sebuah keluarga yang menganut agama Yahudi. Orang tua angkat saya dengan senang hati menawarkan membangunkan sahur, menunda jam makan malam sampai waktunya saya berbuka puasa (yang biasanya sampai jam 9 malam), dan mengantar saya ke masjid untuk shalat Ied.
Saat saya kuliah di The College of Wooster, saya juga tidak pernah mengalami masalah dalam melaksanakan shalat lima waktu di kamar asrama. Meskipun saya berbagi kamar dengan mahasiswi asli Amerika Serikat, ia tidak keberatan jika saya shalat di kamar. Saat saya akan shalat, ia akan selalu mematikan TV dan berusaha untuk tidak membuat banyak suara. Saya juga beruntung karena asrama saya berada dalam kampus dan tidak jauh dari perpustakaan atau ruang-ruang kelas. Jadi bila saya perlu shalat di tengah belajar di perpustakaan, saya bisa dengan mudah ke kamar asrama untuk shalat. Rasanya hampir seperti ke mushola SMA saya di Jakarta untuk shalat saat jam makan siang.
Saat menjadi bagian tim basket, pelatih saya pun tidak pernah ragu mengizinkan saya shalat di tengah latihan atau pertandingan bila diperlukan. Di pertandingan-pertandingan yang berlangsung di luar kampus, ia selalu memastikan saya mendapatkan tempat shalat yang bersih dan layak. Ia bahkan ikut membantu mencari arah kiblat.
Dosen-dosen saya juga selalu mengerti bila saya tidak bisa mengikuti kelas karena kegiatan ibadah. Contohnya, setiap tahun saya bolos kuliah untuk pergi shalat Idul Adha karena hari raya ini memang selalu jatuh pada hari kuliah. Dosen-dosen saya tentunya tidak bermasalah dengan hal ini, asalkan saya memberitahu sejak jauh hari, mengejar catatan-catatan yang tertinggal, mengumpulkan tugas yang dijadwalkan hari itu, dan - bila ada ujian hari itu - mengambil ujian susulan.
Satu hal lagi yang menarik adalah ujian-ujian akhir semester seringkali dijadwalkan melewati waktu shalat magrib. Dosen biasanya tidak ragu untuk mengizinkan saya keluar kelas selama ujian dan membukakan ruang kelas yang kosong untuk saya shalat. Setelah menunaikan ibadah, saya bisa melanjutkan ujian lagi.
Asosiasi Pelajar Muslim
Meskipun pemeluk agama Islam adalah minoritas kecil di The College of Wooster (kurang lebih 20 orang dari 2100 mahasiswa), saya merasa grup kami ini cukup solid. Setiap tahun, kami dibiayai oleh kampus untuk mengadakan acara-acara yang bertujuan memperkenalkan budaya Islam kepada lingkungan kampus. Kami pernah mengundang musisi sufi, mengadakan acara perayaan Idul Adha, mengadakan tur ke masjid terdekat dari kampus dan masih banyak lagi. Kami juga mengadakan shalat Jumat berjamaah tiap minggunya dan acara makan malam bersama komunitas Muslim satu bulan sekali. Acara-acara ini tentunya terbuka untuk umum, termasuk warga kota Wooster yang beragama Muslim (kebanyakan imigran dari Asia Selatan)
Perayaan Hari Raya Idul Adha yang diselengggarakan Asosiasi Pelajar Muslim di The College of Wooster (Foto: Dok. probadi Nisa)
Idul Fitri
Hari raya terbesar bagi umat Islam inilah yang paling menarik untuk dirayakan di Amerika Serikat. Sebenarnya tidak terlalu sulit menemukan lokasi untuk shalat Ied. Bahkan di kota kecil tempat kampus saya - Wooster, Ohio - hanya perlu naik mobil selama setengah jam untuk sampai ke masjid terdekat. Namun kita semua tahu bahwa hari raya Idul Fitri bukan hanya sekedar shalat Ied. Silaturahmi dan kekeluargaan kadang menjadi bagian terpenting dari hari raya ini, dan inilah yang sulit saya temui.
Nisa dan beberapa pelajar muslim lain dari The College of Wooster saat akan melaksanakan shalat Idul Fitri di kota Akron, Ohio (Foto: Dok. pribadi Nisa)
Lebaran pertama saya di Amerika Serikat, keluarga angkat saya mengantarkan saya untuk shalat di Masjid yang dikelola oleh sebuah komunitas imigran Bangladesh. Pada lebaran kedua, saya dan teman-teman kampus pergi ke masjid terdekat yang sebagian besar anggotanya adalah imigran dari Asia Selatan. Di dua lebaran ini, meskipun saya senang berkesempatan melaksanakan shalat Ied, mencicipi makanan hari raya yang lezat dari negara lain dan juga melihat bagaimana budaya lain merayakan lebaran, saya tidak teringat akan perayaan hari raya di Jakarta.
Dua lebaran berikutnya di Amerika Serikat saya rayakan di Washington, D.C., yang merupakan kota dengan komunitas Indonesia yang sangat besar. Saya dan beberapa teman dari Indonesia shalat di masjid yang dikelola oleh komunitas Indonesia di kota tersebut. Selain bisa mendengarkan khotbah dalam bahasa Indonesia, kami juga diberikan bekal camilan khas Indonesia yang biasanya berupa tahu isi, risol atau martabak telur .
Setelah shalat Ied, kami mengunjungi kenalan orang Indonesia di wilayah Washington. Sama seperti di Indonesia, kami disuguhi kue-kue kering khas lebaran seperti kastengel, putri salju, dan nastar. Anggota keluarga dan kerabat yang lebih muda juga beramai-ramai sungkem kepada anggota keluarga yang lebih tua. Menu makan siang kami adalah lontong, opor ayam, sayur, dan rendang. Perayaan lebaran dua tahun ini terasa spesial karena meskipun jauh dari keluarga, saya menemukan komunitas lain yang membuat saya merasa dikelilingi oleh keluarga. Walau ini tidak ideal, tapi inilah yang terbaik yang bisa didapat di tanah perantauan.
Pada intinya, masyarakat Amerika Serikat di lingkungan kampus umumnya akan sangat toleran dengan kepercayaan agamamu, sehingga tidak perlu takut ibadahmu selama kuliah akan terhambat. Memang kadang perlu usaha lebih untuk bisa melaksanakan ibadah, tapi bila kamu memang berniat dan taat tentunya ini tidak akan jadi masalah. Pilihan untuk beribadah selalu ada, keputusan untuk menjalankannya ada di diri kita masing-masing.
Sudah menemukan inspirasi untuk kuliah di mancanegara setelah membaca pengalaman Nisa? Langsung saja daftar untuk konsultasi GRATIS dengan konselor IDP Education yang selalu siap membantumu mendaftar dan kuliah di universitas-universitas terbaik di luar negeri.
Sumber:
Artikel asli dipublikasikan oleh IndonesiaMengglobal.com
'A non-profit website for Indonesians aspiring to study and or pursue professional opportunities abroad'.