
Belum lama ini, saya berkenalan dengan seorang Rini Mayasari melalui HotCourses, dan dalam postingan kali ini, saya mau membagikan hasil "interogasi" saya bersama dengan beliau. Sebelumnya, coba tengok dulu bio singkat mengenai mbak Rini ini. Siapa sih beliau ini? (Lihat juga postingan sebelumnya mengenai beliau di sini ya!)
Rini Mayasari sekarang sedang menjalani studi lanjutnya di Universitas Waikato di tingkat S2. Jurusan yang diambilnya adalah Geografi dan ia mengambil spesialisasi di bidang Geographic Information System (GIS).
Ketika melakukan pengumpulan data untuk thesis S2 nya, Rini juga melakukan magang di kantor Gubernur DKI Jakarta. Di samping studi dan kegiatan magangnya, Rini juga aktif terlibat sebagai co-director dan pendiri program 2015 Gen Peace dan 2013 Moluccas Youth Leadership program. Bersama dengan rekannya, Dian Mayasari, Rini memiliki visi agar pemuda/i Indonesia dapat aktif terlibat dalam proses kampanye perdamaian di kampus-kampus mereka dan meluas sampai ke komunitas di sekitar mereka. Selain itu, minatnya akan keterlibatan anak-anak muda dalam proses pengambilan keputusan membawanya untuk bergabung sebagai anggota dari Youth Advisory Panel di Hamilton City di bawah naungan organisasi SHAMA.
Rini percaya bahwa seorang pemimpin tidak dibentuk dari lahir, tapi dari proses pembentukkan dan pengayaan yang selalu dilatih dengan adanya pengertian mendalam disertai dengan perspektif yang global. Karenanya ia juga bergabung dengan para Pengajar Muda angkatan tahun 2011/2012 untuk belajar dan mempraktekkan skill kepemimpinan yang telah ia pelajari di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Rini juga pernah mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat dan belajar selama setahun di California State University, Dominguez Hills, dan ketika itu ia juga dianugerahi sebagai "Bullhorn of the year," sebagai siswa yang paling dikenal dan paling terlibat di kampus karena passionnya dalam bersukarelawan di tahun 2009.
Sekembalinya dari AS, Rini juga terlibat dalam berbagai macam proyek sosial, diantaranya Proyek Rumah Terang, training enterpreneurship dan pengkonversian lampu bertenaga solar bagi orang-orang di Pulau Air Raja di Kepulauan Riau, dan juga dalam Online Marketing Access untuk SMEs. Di tahun 2014, Rini juga memimpin sebuah proyek fasilitas pelatihan mapping di University of Waikato di New Zealand.
1. Bisakah mbak Rini bercerita sedikit mengenai beasiswa yang mbak dapatkan di California?
Jadi dulu saya mendapatkan beasiswa Global Undergraduate Exchange Program (UGRAD) dari the US Department of State, yang menawarkan 2 jenis durasi: selama 1 semester akademik dan 1 tahun. Proses seleksi beasiswa ini dilakukan oleh AMINEF, dan biasanya aplikasi untuk beasiswa dibuka pada awal November hingga Januari.
Pada waktu itu saya mendapatkan beasiswa untuk satu tahun akademik, dan saya menempuhnya di California State University Dominguez Hills (CSUDH) di Carson, California. Untuk menerima beasiswa ini saya perlu mengambil cuti akademik selama setahun. Oleh karena itu, di CSUDH, saya berusaha untuk mengambil mata kuliah yang serupa dengan mata kuliah perlu saya ambil di universitas saya di Indonesia—waktu itu jurusan saya adalah English Education—agar saya tidak menghabiskan waktu dengan percuma dan dapat mentransfer mata kuliah yang saya ambil di Amerika ketika saya kembali ke Indonesia. Namun saya juga berkesempatan mengambil mata kuliah lain yang tidak linear dengan studi saya, misalnya Antropologi, Linguistik, Musik, dan juga Yoga—kesemuanya sangatlah memperkaya pengalaman saya selama di Amerika.
Pengalaman mendapatkan beasiswa ke Amerika merupakan sebuah pintu awal yang membukakan pintu-pintu petualangan lainnya buat saya.

2. Bisakah mbak Rini bercerita sedikit mengenai pengalaman mbak di Indonesia Mengajar?
Saya tertarik bergabung dengan Indonesia Mengajar (IM) karena IM menawarkan kesempatan untuk mengasah kemampuan kepemimpinan sembari memberikan sumbangsih bagi daerah pedalaman di Indonesia. Sebelum pemberangkatan ke daerah penempatan, saya dibekali dengan berbagai leadership skills dan ilmu pedagogi.
Bertugas di daerah dengan keterbatasan sumber daya, lokasi yang jauh dari kota, dan jadwal kerja yang padat, adalah bekal survival skills dan time management skills sangat berguna. Cakupan kerja saya dan tim tidak hanya pada proses mengajar dan ekstra kurikuler di sekolah, tetapi juga meliputi pembelajaran masyarakat dan advokasi pendidikan. Oleh karena itu, skills lain seperti membuat keputusan, persuasive skills, hingga interpersonal skills diasah dalam kehidupan sehari-hari selama bertugas. Sering juga kreatifitas ditantang ketika mengajar agar proses belajar di kelas interaktif dan menarik namun dengan keterbatasan sumber daya dan alat peraga.
Sebagai orang yang menghabiskan sebagian besar hidup saya di Sumatera, saya ingin mendapatkan pengalaman tinggal di belahan lain Indonesia agar saya dapat melihat Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Alhamdulilah, saya mendapatkan tugas mengajar di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Berbeda dari sekedar travelling, kesempatan menjadi Pengajar Muda memberikan saya pengalaman yang sangat unik. Selama bertugas saya dapat menjadi bagian di daerah tempat saya mengajar. Saya belajar dialek lokal Paser dan Bugis dan mengenal budaya dan kearifan lokal yang kadang saya rasa memiliki kemiripan dengan daerah asal saya di Sumatera.
Di samping itu, saya berkesempatan membagikan ilmu yang saya miliki, namun yang sebenarnya terjadi adalah saya lebih banyak belajar dari pengalaman tersebut.
Kendala terbesar yang saya alami ketika itu adalah menghadapi orangtua murid dengan mindset yang cukup berbeda. Misalnya saja, kalau di kota besar, kita sering melihat orangtua yang justru mengirim anaknya ke sebanyak mungkin kursus—di Kalimantan justru sebaliknya. Banyak orangtua justru berpikir bahwa anak-anak tidak perlu sering belajar. Contohnya, ketika saya bersemangat mempersiapkan murid-murid saya untuk Olimpiade Sains Kuark, dan reaksi yang saya dapatkan dari orangtua salah seorang murid justru jauh dari sebuah dukungan. Salah seorang orangtua murid justru mendekati saya dan menghimbau saya untuk tidak membuat anak-anak mereka belajar terlalu banyak, karena anaknya nanti bisa gila.
Yang saya lakukan ketika itu adalah mencoba membuat mereka mengerti, namun titik baliknya terjadi seiring dengan berjalannya olimpiade tersebut. Ketika beberapa murid saya lolos ke babak semifinal, itu menjadi semacam ajang pembuktian kami kepada para orangtua bahwa dengan belajar, anak-anak bisa meraih apa pun impian mereka.
Akhirnya, para orangtua pun bersemangat mendukung anak-anaknya. Misalnya saja, karena sekolah tempat saya mengajar dulu tidak dapat mengalokasikan budget untuk mendanai transportasi para murid, para orangtua justru bersemangat sekali mengantar anak lomba ke ibukota kabupaten walau harus ijin untuk tidak bekerja. Perubahan positif semacam ini salah satu yang saya dan teman-teman usahakan selama bertugas.
Salah satu hal berharga yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah bahwa untuk berbagi dan berkontribusi, seseorang tidak harus kaya. Saya melihat banyak sosok-sosok guru hingga relawan bersahaja namun penuh dedikasi dan kepedulian terhadap pendidikan Indonesia, khususnya di Paser.
Ini membuat saya optimis, bahwa kelak kualitas pendidikan di Indonesia akan semakin baik dan tentunya masih banyak orang yang “baik” di negeri ini, walau tiap hari media selalu memberitakan kasus korupsi. Saya juga melihat walau dalam kesederhanaan, kebahagiaan bisa dicapai dengan memiliki waktu luang berkumpul bersama keluarga host saya hingga bermain dengan para murid seusai mengajar les sore.

3. Apa yang memotivasi mbak untuk mempelajari Social Science?
Awalnya, saya merasa prihatin dengan kondisi sungai Musi, dan saya ingin melakukan sesuatu sehubungan dengan konservasi air tawar, tapi saya tahu saya tidak memiliki latar belakang yang kuat akan perencanaan lingkungan atau environmental planning. Karenanya, saya tertarik untuk mengambil jurusan Environmental Planning. Namun karena kebanyakan mata kuliah di jurusan ini konteksnya sangat lokal, saya justru ditawari untuk kuliah di Geografi dengan kualifikasi Master of Social Science. Saya menerima tawaran tersebut namun menekankan keinginan saya untuk mempelajari tentang managemen lingkungan di New Zealand. Alhamdulillah, jurusan saya cukup fleksibel dan akomodatif. Walau berkuliah di Geografi, saya bisa mengambil mata kuliah di bidang managemen dan perencanaan lingkungan seperti Freshwater Ecology, Planning for Sustainability, dan Environmental Monitoring. Selain itu, saya juga belajar Geographic Information System (GIS) yang menurut saya sangat powerful baik untuk pengelolaan sumber daya alam hingga perencanaan kota dan lingkungan.
Saat ini saya sedang merampungkan thesis saya mengenai Community Resilience to disasters—ketahanan komunitas setempat terhadap bencana. Saya akan melakukan riset di Kampung Kamal Muara di Jakarta Utara. Permukaan tanah di daerah ini turun tiap tahunnya, dan karenanya tiap tahun pun makin rawan banjir. Riset saya melihat bagaimana komunitas setempat bertahan menghadapi fenomena banjir tersebut, dan melihat apa saja sumber daya yang sebenarnya mereka butuhkan untuk menghadapi ini. Melalui riset ini saya mengaplikasikan pengetahuan yang telah saya pelajari di bidang Human Geography dan Disaster Risk Reduction.
(Kamu tertarik juga mengambil jurusan Social Science tingkat Magister? Coba cek daftar universitas yang menawarkan programnya di sini!)
4. Apa cita-cita mbak setelah menyelesaikan program S2 ini?
Saya ingin terlibat di NGO yang bekerja di bidang disaster risk reduction—penanggulangan bencana, dan fokus kepada program-program semacam intervensi pengurangan dan penanggulangan bencana, misalnya. Skill-skill yang telah saya pelajari dari program saya di New Zealand dapat saya aplikasikan kemudian—misalnya saja kemampuan riset hingga managemen dan analisas sumber daya dengan Geographic Information System (GIS) dan mapping. Banyak yang bekerja di bidang serupa di Indonesia juga mengerti GIS, namun banyak yang masih melakukannya secara manual. Saya belajar otomatisasi GIS dengan phyton sehingga mapping dan analisa spatial data jadi lebih cepat dan praktis, - dan ini bisa menjadi aset yang sangat berharga nantinya.
5. Sekarang ini ada banyak kesempatan untuk bergabung dengan kegiatan sukarelawan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dari pengalaman sukarelawan yang mbak dapatkan sendiri, menurut mbak, seberapa penting kah menimba pengalaman ini?
Manusia itu kan mahluk sosial, yang butuh bergaul dan aktualisasi diri. Jadi relawan, menyumbangkan waktu, skill maupun tenaga bisa menjadi salah satu sarana mengaktualisasikan diri. Hasil dari aktualisasi diri ini ya bisa berupa kepuasan batin.
Misalnya, saya selalu merasa senang tiap usai melakukan volunteering karena saya merasa saya bisa berguna dan memberikan sedikit kontribusi bagi sekitar saya. Selain itu,menjadi relawan memberikan kita kesempatan untuk bekerja dalam tim. Disini lah diuji leadership skills sekaligus latihan kesabaran ketika dinamika dalam tim mulai sedikit panas. Biasanya saat kita mendaftar program-program beasiswa, para sponsor ingin melihat para kandidat yang aktif terlibat di komunitasnya dan memiliki potensi sebagai leader—yang melek akan apa yang terjadi di sekitar mereka, untuk melihat bahwa mereka memang akan dapat memberikan dampak yang berarti bagi sekitarnya di masa depan.
Menurut saya, pengalaman kerja sukarela adalah salah satu bukti yang paling nyata yang dapat kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita orang yang memberikan impact bagi sekitar dan memiliki leadership skills.
Selain itu, menjadi sukarelawan juga memperkaya kita dengan kesempatan berjejaring—kita dapat bertemu orang-orang yang memiliki minat serupa, dan siapa tahu saja salah satu dari mereka adalah calon teman karib kita nanti, atau rekan sekerja dan bahkan bos kita. Selain itu, kita juga mendapat kesempatan untuk melakukan dan menikmati sesuatu yang berbeda dari bidang yang kita tekuni di universitas atau bidang kerja.
Tidak hanya sekedar bertemu dan berjejaring, hal yang saya alami ketika menjadi relawan adalah seringkali saya terinspirasi baik itu oleh sesama relawan, hingga terinspirasi untuk membuat program sendiri.

6. Menurut mbak, seberapa penting sih pengalaman merantau di negeri orang, baik untuk bekerja atau belajar?
Dengan merantau di negeri orang, kita justru dapat belajar untuk mengenal diri kita lebih baik. Baik itu mengenali kemampuan maupun ketidakmampuan kita. Saya baru sadar bahwa saya tiak bisa masak ketika kuliah di Amerika, dan sejak itu saya mulai belajar dan tertarik dengan masak-memasak. Terbukti, kemampuan memasak adalah salah satu kemampuan krusial untuk bertahan hidup di luar negeri dan menabung dengan dana beasiswa.
Dengan berkuliah keluar negeri, saya menemukan minat saya di bidang lain, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Saya pun bereksplorasi dengan mengambil kelas musik dan yoga.
Selain itu, saat kita belajar di luar negeri sebagai mahasiswa internasional, hal paling keren yang kita dapatkan, menurut saya adalah punya teman dari berbagai penjuru dunia.
Di masa yang akan datang, kemana pun kita akan travelling, atau mau buat usaha hingga membuat inisiatif sosial, tanpa kita sadari, kita sudah punya jaringan dari mancanegara. Selain itu, kita bisa merefleksikan budaya kita sendiri dengan bergaul dengan mereka. Misalnya saja, kebanyakan mahasiswa Asia biasanya sangat-sangat fokus belajar, sementara teman-teman saya dari Negara lain, misalnya saja Swedia, Meksiko, atau Afghanistan, justru berusaha untuk menyeimbangkan studi mereka dengan kegiatan-kegiatan lain, misalnya saja dengan pergi nongkrong atau berpesta, dan itu tidak mengganggu studi mereka sama sekali karena nilai mereka tetaplah bagus di kelas.
Saya juga melihat bagaimana pengalaman mereka di Negara masing-masing dapat mempengaruhi karakter dan gaya hidup mereka—misalnya saja, saya belajar gaya hidup sehat dari teman saya yang berasal dari Swedia. Hidup sehat itu tidak harus mahal—yang paling penting adalah olahraga rutin, minimal tiga kali seminggu, dan makan makanan yang rendah kalori dan lemak.
Tentu saja, pengalaman saya di Amerika sebelumnya juga membantu saya dalam mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi di New Zealand.
Misalnya saja, belajar di tingkat S1 dan S2 sangatlah berbeda, terutama karena bidang yang saya pelajari tidaklah linear. Namun saya belajar di Amerika bahwa para pengajar di sana sangat siap membantu mahasiswa/i-nya, dan Anda hanya perlu bertanya kepada mereka saat Anda mendapati kesulitan, terutama karena mereka sangatlah terbuka kepada para mahasiswanya—contohnya, Anda dapat langsung bertanya kepada mereka seusai kelas.
Salah satu kesulitan yang pernah saya alami adalah di kelas Ekologi. Mata kuliah ini sangatlah kental dengan hal-hal sains, dan saya mengalami kesulitan di kelas ini.
Suatu waktu saya harus menulis paper sepanjang 30 halaman, dan saya mencurahkan waktu saya selama satu bulan hanya untuk menyelesaikan paper ini, namun nilai yang saya dapatkan waktu itu adalah D, dan karenanya ini membuat saya cukup patah semangat karena saya telah menghabiskan banyak waktu saya untuk mengerjakan paper ini. Belum lagi saya juga mendapat D di kuis di kelas tersebut, dan akibatnya saya cukup panik waktu itu. Saya mengandalkan beasiswa yang saya dapatkan, dan saya perlu mendapatkan setidaknya nilai B untuk mata kuliah tersebut.
Akhirnya saya mengkontak professor saya dan memberitahu beliau akan kesulitan yang saya alami. Dan beliau menghubungi staff di bagian beasiswa untuk memberitahu mereka bahwa saya membutuhkan personal tutor. Pihak beasiswa akhirnya setuju untuk mempekerjakan seorang personal tutor untuk membantu saya memahami mata kuliah tersebut—ini sangatlah membantu saya—dan akhirnya saya berhasil mendapatkan B-minus untuk kelas tersebut.
Kesulitan lain yang pernah saya alami juga adalah dengan grammar. Bahasa Inggris merupakan Bahasa asing buat saya, dan karenanya saya mengalami kesulitas dengan struktur bahasanya. Awalnya saya ragu untuk berkonsultasi mengenai hal ini, namun melalui Student Learning Center di kampus saya, saya dapat berkonsultasi sesekali mengenai esai yang harus saya tulis, dan melalui diskusi-diskusi yang ada, saya akhirnya mengerti dan akan mendapatkan ide mengenai bagaimana cara untuk menyusun kerangka esai saya.
Banyak murid yang terkadang ragu-ragu atau malu untuk meminta bantuan akan hal-hal semacam ini, tapi saya benar-benar berusaha untuk memanfaatkannya karena saya tahu saya membutuhkan ini.
Buat kamu yang tertarik untuk berkuliah di University of Waikato bisa juga klik di sini