Informasi penting
Study abroad: Kehidupan Pelajar

Bagaimana Kegigihan dan Ketekunan Memberi Jalan Robinson Sinurat Menuju Columbia University

share image

Cerita Robinson yang berasal dari kota kecil di Sumatera Utara dan berhasil mendapatkan beasiswa untuk meneruskan S2 di Columbia University di New York telah banyak menginspirasi anak-anak Indonesia lain. Ini salah satu yang membuat tim Indonesia Mengglobal ingin tahu ceritanya lebih lanjut. Untuk obrolan kali ini mereka akan membahas mengenai pengalamannya saat tes IELTS, mendaftar beasiswa LPDP dan juga bagaimana sih kehidupannya sebagai mahasiswa Universitas Columbia yang termasuk dalam jajaran Ivy League itu.

 

Berangkat Dari Latar Belakang non-English-speaking, Dari Mana Kamu Belajar Bahasa Inggris dan Lulus Tes IELTS?

 

Robinson memulai mendaftar S2 tanpa memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup, apalagi untuk bisa lulus IELTS. Dia memulai persiapan untuk tes IELTS sejak 2014 dan membutuhkan waktu satu tahun sampai akhirnya dia bisa lulus tes dengan skor yang sesuai persyaratan. Saat itu Robinson juga sedang bekerja di organisasi non pemerintah atau NGO - yang bisa dibilang bukan pekerjaan dengan gaji tinggi sehingga dia harus benar-benar mempertimbangkan seluruh biaya di setiap proses pendaftaran sekolah ini.

Awalnya Robinson mendaftar ke kelas Bahasa Inggris di organisasi Lembaga Bahasa Indonesia (LBI) di Universitas Indonesia. Namun, karena padat dan tidak terprediksinya jadwal kerja di NGO, Robinson hanya mampu untuk mengambil beberapa kelas saja, dari situ dia memutuskan untuk mencoba belajar bahasa Inggris secara otodidak.

 

 

Pada Januari 2015, Robinson mencoba untuk mengambil tes IELTS untuk memastikan sejauh mana kemampuan bahasa Inggrisnya. Seperti sudah dia duga, hasil skornya rendah pada tes pertama. Namun setidaknya dia mengetahui bagian mana yang harus lebih diasah dalam latihan kedepannya.

Robinson mengambil tes IELTS yang kedua kali beberapa bulan setelahnya dan masih gagal. Pada September 2015 dia mengambil tes yang ketiga kalinya, namun skornya masih belum mencukupi juga. Saat itu Robinson sedang berada di University of Nebraska Omaha dalam rangka program Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) untuk subjek keterlibatan masyarakat, dia berharap program ini yang mengharuskan berbahasa Inggris.

 

Robinson tidak menyerah dan tetap bekerja keras. Pada Desember 2015, setelah tes yang keempat kali... akhirnya dia mendapatkan skor yang memuaskan! “Pas gue dapet hasilnya, gue lagi di British Council. Gue nangis, sampe ditanyain satpam ada apa. Langsung gue telfon nyokap gue untuk ngasih kabar, nyokap gue lagi manjat pohon cabai haha.

 

Robinson with friends at Columbia UniversityRobinson dengan teman mahasiswanya di Columbia University University

 

Apa Saran yang Bisa Kamu Berikan Bagi yang Sedang Mendaftar Beasiswa LPDP?

 

Untuk membiayai S2 nya, Robinson mendaftar beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Wawancara Robinson dengan LPDP cukup panjang - mereka ingin tahu lebih dalam tentang keinginannya mengubah subjek kuliahnya dari S1 jurusan Fisika menjadi S2 social work. Mengetahui bahwa wawancara LPDP akan detail dan panjang, dia pun mempersiapkan semua jawaban dari awal.

Sarannya adalah selalu jujur. “Be honest dan be yourself itu penting banget di interview LPDP gue. Apapun yang ditanya, gue jawab jujur banget. Gue apa adanya gitu lho.” Mendapatkan beasiswa itu sungguh berharga untuk Robinson, jadi dia memastikan bahwa dia memiliki antusias yang tinggi untuk mendapatkannya dan juga memastikan dia memberikan semua informasi yang dibutuhkan dan bisa membantu aplikasi beasiswa ini. Menurutnya, wawancara adalah kesempatan besar untukmu menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang paling tepat untuk mendapatkannya. Sehingga pastikan untuk kamu memaksimalkan kesempatan ini sebaik-baiknya.

 

Mengapa Kamu Memilih Columbia dan Apakah Ada Saran Dalam Proses Pendaftarannya?

 

Ketika Robinson mendaftar program S2, dua pilihan teratas setelah melakukan riset adalah University of Southern California (USC) dan Columbia. Banyak orang yang juga menanyakan mengapa dia tidak mendaftar ke universitas yang lebih bergengsi seperti Harvard University. Robinson memilih sekolah bukan hanya karena reputasinya saja. Sudah pasti reputasi akan sangat membantu ketika mencari pekerjaan setelah lulus kuliah, namun yang terpenting adalah menemukan program kuliah yang sesuai dengan kebutuhanmu.

“Gue check requirements nya, mikir bisa atau gak dan cocok atau gak. Jangan langsung mikirnya mau ke Ivy League. Mungkin memang sekolahnya bagus, dan kampus terbaik, tapi belum tentu program yang lo mau adalah yang terbaik dalam bidang itu. Jangan asal main nama aja. Makanya, cari dulu dong, Harvard ada gak program social work? Kan gak ada, ya mana mungkin gue belajar social work di sana, jadi pastikan kamu riset yang mendalam untuk memastikan kamu memilih program yang sesuai dengan kebutuhanmu.

 

 

Snowing in New York!

Pengalaman pertama musim salju di New York

 

 

Menentukan akan sekolah di mana adalah hal yang termudah, namun proses mendaftarnya yang bisa menjadi sangat panjang dan sulit. Kuncinya adalah di essays. Pada bulan-bulan Robinson menyelesaikan aplikasinya, dia diundang untuk menjadi juri di kompetisi Bahasa Inggris tingkat SMA yang diselenggarakan kedutaan Amerika Serikat di Jakarta. Salah satu juri di panel adalah Dr. Grace Josephine Wiradisastra, yang juga salah satu dosen senior di  Department of Linguistics Faculty of Humanities di Universitas Indonesia (UI). Ketika Robinson memberitahu bahwa dia sedang menyelesaikan aplikasinya ke Columbia, Dr.Grace menawarkan bantuan untuk memeriksa dan memberikan opini tentang essaynya. Selain itu Holly Zardus, asisten atase budaya kedutaan Amerika Serikat di Jakarta juga menawarkan untuk memberikan surat rekomendasi! Mereka melihat besarnya antusiasme Robinson untuk mengejar studi advanced di bidang social work.

 

Basketball at ColumbiaPicnic at Central ParkPicnic at Central Park

 

Bagaimana Pengalamanmu di Columbia dan Apa Tips Sukses Selama Sekolah di Sana?

 

Robinson sampai di New York dengan antusiasme tinggi, siap untuk menjadi mahasiswa Columbia. Setidaknya itu yang dia rasakan, sampai pada akhirnya mulai mendapatkan tantangan sebagai mahasiswa InternasionalPas semester pertama gue di Columbia, itu gue sering nangis dan berat badan gue turun banget karena stress dan capek”.

Dengan latar belakang fisika, dia belum terbiasa dengan banyaknya diskusi kerja kelompok dan bahan bacaan akademis yang berat. Sempat terbersit di benaknya bahwa dia tidak cocok berada di sana. Sarannya kepada mahasiswa lain jika memiliki kondisi yang sama adalah share dengan sesama mahasiswa lain dan jangan mencoba untuk mengatasinya sendiri.“Gue curhat ke temen-temen gue yang sama-sama di Columbia dan ternyata mereka mikirnya juga sama, ini kuliah berat banget. Akhirnya gue pikir, ok, ini wajar, gak cuman gue aja dan gue gak perlu menangis lagi!” Berpindah ke seberang dunia dan belajar sesuatu yang sangat berbeda dan dengan bahasa lain bukan hal yang mudah, jadi perlu disadari bahwa saat menemukan kesulitan, kamu tidak sendiri dan pada akhirnya kamu akan lebih baik dalam mengatasinya.

 

Robinson with classmates from the School of Social WorkRobinson dengan teman kelasnya dari the School of Social Work

 

Penting juga untuk selalu melakukan persiapan sebelum masuk ke kelas. Robinson memiliki strateginya sendiri-ketika menyelesaikan tugas, dia akan mempersiapkan daftar pertanyaan mengenai subjek tersebut. Sehingga dia selalu memastikan untuk selalu bertanya satu pertanyaan atau menjawab satu pertanyaan mahasiswa lain.

“Pede aja kalo ngomong, gak usah malu-malu. Lagipula, kalau malu ngomong dalam bahasa Inggris, kapan mau lancar?”

Menengok ke belakang, Robinson mengingat salah satu pesan dari supervisor nya “Jangan terlalu khawatir jika kamu tidak berbahasa Inggris sempurna, karena orang lain akan mengerti bahwa kamu adalah mahasiswa internasional dan Inggris bukan bahasa pertamamu. Jadilah dirimu sendiri dan jadi yang terbaik.”

 

Sejalannya waktu, dia juga belajar untuk menghargai latar belakangnya yang tidak sejalur dengan subjek yang dipilih saat ini karena banyak juga mahasiswa di kelasnya yang tidak berlatar belakang social work. Perbedaan ini lah yang justru memperkaya setiap diskusi yang terjadi di kelas.


 

Kehidupan Setelah Lulus S2- Sibuk Apa Sekarang?

 

Bulan Mei tahun lalu, Robinson lulus gelar Master Social Work di Columbia. Dia selalu tertarik di isu pemuda dan antar agama, yang mengarahkan dia ke posisinya sekarang yaitu sebagai counseling specialist di Queens Community House. Dengan pelatihan yang didapatkan selama di kuliah, Robinson mampu melakukan konseling privat terutama dengan pelajar yang menghadapi isu kesehatan mental.

Banyak yang menanyakan bagaimana Robinson bisa tinggal di Amerika setelah lulus kuliah, terutama dia adalah seorang LPDP awardee, yang memiliki kewajiban untuk kembali ke Indonesia setelah lulus. Robinson menjelaskan bahwa saat ini dia bekerja di Amerika di Optional Practical Training (OPT), 12 bulan izin kerja yang diberikan kepada semua mahasiswa internasional di Amerika. Dia juga menginformasikan kesempatan bekerja di Queens Community House ini kepada komite LPDP melalui sistem online mereka (Sistem Informasi Monitoring). Mereka tidak keberatan karena kesempatan ini sejalan dengan tujuannya untuk mendapatkan pengalaman lebih banyak tentang social work.

 

Robinson at Bronx High School for his first internshipRobinson di Bronx High School untuk internship pertamanya

 

Asumsi yang biasanya terjadi adalah mahasiswa yang melanjutkan kuliah ke luar negeri lebih memilih untuk mengejar pengalaman di negara tersebut dibanding memberikan kontribusi ke Indonesia. Asumsi ini ditepis Robinson, dia berpendapat bahwa berkontribusi untuk Indonesia tidak harus melulu berada di Indonesia “Menurut gue, justru gue saat ini bisa lebih banyak kontribusi dengan tinggal di luar negeri. Contohnya, gaji yang gue terima di sini, walaupun tidak berlimpah, tetap lebih banyak dibandingkan gaji yang gue akan terima seandainya sekarang gue kerja di Indonesia”.

 

Dia memberikan contoh bagaimana dia akhirnya mampu untuk membantu finansial pendidikan beberapa anak-anak di Indonesia dengan mendanai biaya Tryouts  di SMA 1 Tanah Pinem, Sumatera Utara.

 

Bagaimana Masa Depan yang Ada di Depan Robinson?

 

 

Impian Robinson adalah untuk bekerja di United Nation suatu saat nanti, memberikan kontribusi bagi Indonesia dan dunia. Baru- Baru saja Robinson membangun NGO nya sendiri bernama Mimpi Besar, yang berfokus untuk memberikan solusi pada sosial isu dan memberikan pelatihan soft skills bagi pelajar yang meraih nilai terbaik setingkat SMP dan SMA yang memiliki keterbatasan biaya di Indonesia.

 

At UN HQ

Robinson di United Nation Headquarter

 

Gue percaya mereka punya potensi. Tapi karena mereka gak ada informasi, gak cukup dana, dan gak ada wadah untuk bertanya gitu lho. … Gue bersyukur juga gue dari Universitas Sriwijaya langsung lompat ke Columbia University. Dan gue ingin menunjukkan orang-orang kalau they can do it too.

 

 

BACA JUGA:

 

PANDUAN VISA PELAJAR AMERIKA

PENYEBAB VISA AMERIKA DITOLAK

KUMPULAN BEASISWA AMERIKA UNTUK INDONESIA

10 UNIVERSITAS TERBAIK DI AMERIKA SERIKAT

PENGALAMAN KULIAH CINTA LAURA DI COLUMBIA UNIVERSITY

 

 

Source:

Artikel asli di publikasikan oleh www.indonesiamengglobal.com,

'a non-profit website for Indonesians aspiring to study and or pursue professional opportunities abroad'.